gravatar

Konflik SBY-Sultan Berbahaya

YOGYAKARTA - Polemik antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Sri Sultan Hamengku Buwono X dikhawatirkan melebar menjadi konflik horizontal.

Kondisi ini bisa terjadi jika sikap pihak pendukung, baik pro pada penetapan maupun propemilihan sebagai mekanisme pengisian jabatan gubernur dalam Rancangan Undang- Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), makin mengeras dan berbenturan.

Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heddy Shri Ahimsa Putra mengingatkan bahwa konsolidasi para pendukung penetapan di berbagai sudut-sudut Yogyakarta mulai terlihat.

Bahkan kelompok masyarakat yang pro penetapan juga sudah mulai melakukan aksi-aksi dukungan. “Akan ada kemungkinan ke sana, tapi kemungkinan ini tergantung kondisi lebih lanjut,” ujarnya.

Dia mengakui kelompok propemilihan belum jelas terlihat. Namun hal ini bisa saja terjadi karena wacana pemilihan sebagai mekanisme pengisian jabatan gubernur mendapat dukungan, terutama dari kelompok yang dikaitkan dengan istilah “Jakarta”.

Di dalam sejarah, masyarakat Yogyakarta, atau disebut juga sebagai wilayah Kerajaan Mataram, pernah mengalami konflik besar. Konflik tersebut akhirnya membagi wilayah Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Dukungan penetapan gubernur dan wakil gubernur dari berbagai elemen di DIY memang semakin menguat.

Selasa (30/11/2010) kemarin, Paguyuban Kepala Desa dan Lurah Ismoyo maupun Paguyuban Dukuh Se-DIY Semar Sembogo menyebarkan ribuan stiker bertuliskan ”Mendukung Keistimewaan Yogyakarta” serta stiker dengan logo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman.

Mereka juga membuat spanduk bertuliskan ”Dukung Penetapan, Kita Lawan Pemilihan”. “Sikap kami sudah jelas. Jika pusat memaksakan diri pemilihan, kami (perangkat desa dan lurah se-DIY) akan boikot, tidak akan menjadi panitia pemilihan,” ujar Ketua Ismoyo, Mulyadi.

Selain Ismoyo dan Semar Sembogo, sejumlah elemen seperti Paguyuban Desa Wisata DIY, Paguyuban Rakyat Mataram, Gerakan Rakyat Semesta Yogyakarta (Gentaraja), Paguyuban Pengemudi Becak Yogyakarta, Paguyuban Pemandu Wisata Yogyakarta,dan beberapa kalangan lain sudah menyatakan dukungan.

Sri Sultan Hamengku Bowono X tidak mau lagi berkomentar terkait proses keistimewaan DIY. Sultan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan DPR. Dia juga menegaskan bahwa masalah keistimewaan merupakan hak dari warga DIY.

Saat di Kepatihan, Sultan menyatakan sekarang saatnya pemerintah pusat memberikan ketegasan sikap terhadap keistimewaan, apakah akan mempertahankannya atau menjadikan DIY sama dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Dia merasa sudah menyatakan dengan jelas apa yang menjadi pandangannya tentang keistimewaan DIY, monarki dan wacana lain yang termuat dalam RUU tersebut. Pandangan dimaksud adalah tidak ada sistem monarki yang berlaku di DIY.

Provinsi ini menggunakan sistem yang sama seperti pemerintah provinsi lain, yakni berdasarkan UUD 1945, undangundang, dan peraturan lain.