gravatar

Tobacco Control, Tak Hendak Matikan Industri Rokok

Jakarta, Doplang News. Efektif selama dua hari, Sabtu-Minggu (18-19/12), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar workshop bertajuk "Membongkar Mitos Industri Tembakau di Indonesia" yang diikuti jurnalis dari berbagai  media massa di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan Palembang.
Pengendalian rokok inilah inti dari pembahasan selama dua hari di ruang Bekasi I Hotel Santika, Jalan Aipda KS Tubun No 7 Slipi, Jakarta. Narasumber yang hadir adalah Kartono Muhammad (pemerhati masalah kesehatan), Abdillah Ahsan peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI), Tulus Abadi (Anggota Pengurus Harian YLKI dan Ketua Bidang Advokasi Komnas Pengendalian Tembakau).
Selain itu, ada Ignatius Haryanto (Peneliti media di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Adnan Topan Husodo (Wakil Koordinator ICW), Tubagus Haryo Karbyanto (anggota koalisi Forum Warga Jakarta (Fakta).
Semua narasumber satu kata, bahwa pengendalian tembakau menjadi keniscayaan, untuk mencegah dampak pencemaran yang ditimbulkan, terutama bagi anak-anak. Kartono Muhammad, misalnya. Dia mengemukakan beberapa alasan, mengapa peredaran rokok perlu dibatasi.
Menurut dia, alasan utama mengapa rokok perlu diatur adalah risiko rokok terhadap kesehatan, yang tidak hanya akan dialami si perokok sendiri, tetapi juga orang bukan perokok di sekitarnya, khususnya anak-anak dan janin dalam kandungan.
"Selain itu, rokok mengandung nikotin yang bersifat mencandu (adiktif) sehingga sekali menghisap, ia akan terus mencari," tegasnya saat pemaparan materi di hadapan peserta workshop.
Dia juga menyetir sebuah hasil studi yang dilakukan dalam rentang tahun 2000 hingga 2003, bahwa pada 360 ribu rumah tangga miskin di kota/desa, kematian bayi dan balita lebih tinggi di keluarga yang orang tua adalah perokok.
"Satu dari lima angka kematian (20%) balita, itu terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dengan kematian balita 162 ribu per tahun sebagaimana data yang dilansir Unicef (2006), konsumsi rokok keluarga miskin menyumbang 32 ribu kematian per tahun atau 90 kematian balita/hari," terangnya.

Tidak Melarang
Sementara itu Tulus Abadi menerangkan, produksi rokok secara nasional saat ini mencapai 265  milyar batang, dengan jumlah perokok lebih dari 60 juta jiwa. "Indonesia menduduki rangking berada di ranking lima, kini berada di ranking tiga besar dunia konsumsi rokok, setelah China dan India. Perokok Indonesia merokok rata-rata 12 batang per hari," ujarnya.
Dia menambahkan, dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. "Global Youth Survey mencatat, anak usia sekolah (13-15 tahun) pada 1999-2006, 81% terpapar asap rokok di tempat umum," katanya.
Atas berbagai pertimbangan itulah, Tulus dan para pegiat Tobacco Control lainnya memperjuangkan agar dilakukan pengendalian terhadap konsumsinya. "Konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi, karena pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup," imbuhnya.
Kendati menginginkan adanya pengendalian industri tembakau itu, namun pengurus harian YLKI yang juga ketua bidang advokasi Komnas Pengendalian Tembakau ini juga menegaskan, pengendalian tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan industri rokok.
"Pengendalian tembakau itu bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan akibat konsumsi dan paparan asap tembakau. Tidak bertujuan mematikan petani tembakau atau industri rokok," tegasnya.