gravatar

WNI Aman

Thursday, 25 November 2010
JAKARTA – Pemerintah memastikan warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di Korea Selatan aman dan belum perlu dievakuasi menyusul meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea.

Diperkirakan, ada 30.600 WNI di Negara Ginseng tersebut. Sebagian besar di antara mereka adalah pekerja terlatih dan tinggal di Seoul. “Kondisi mereka baik, jauh dari lokasi terjadinya peristiwa (baku tembak) dan terpusat di Seoul,” jelas Juru Bicara Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah di Kantor Presiden, Jakarta,Rabu. Faiza juga memastikan, sejauh ini tidak ada ancaman terhadap WNI di Korea Selatan. Begitu pun dengan WNI di Korea Utara, yang sebagian besar merupakan staf perwakilan. Karena itu,pemerintah menilai belum ada keperluan untuk evakuasi.

Kendati demikian, melalui perwakilan RI di Korea Selatan, pemerintah akan terus memantau perkembangan yang terjadi dan memantau kondisi WNI di semenanjung Korea. Komisi I DPR meminta pemerintah agar menggaransi keamanan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan WNI di sana.Pemerintah juga harus memastikan bahwa WNI dan TKI di kedua negara tersebut mendapatkan akses yang mudah untuk mendapatkan perlindungan melalui KBRI. “Terhadap Dubes RI di sana,pemerintah harus memerintahkan agar melakukan langkah-langkah antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,”ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Gedung DPR,Jakarta,kemarin.

Selain memantau kondisi WNI, pemerintah Indonesia terus memantau perkembangan situasi di Semenanjung Korea pascasaling gempur antara Korea Utara dan Korea Selatan pada Selasa (23/11), yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Faiza menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat menyesalkan peristiwa tersebut dan berharap kedua belah pihak dapat menahan diri serta menghentikan permusuhan. Keprihatinan RI terhadap perang dua negara bersaudara tersebut telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri. Indonesia juga mendesak kedua belah pihak untuk segera menghentikan permusuhan, melakukan upaya maksimal untuk menahan diri dan menghindari terjadinya peningkatan ketegangan.

“Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa atas nama Pemerintah Indonesia menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam atas terjadinya saling tembak antara Korea Utara dan Korea Selatan di pulau Yeonpyeong yang telah mengakibatkan korban di kalangan sipil,” demikian pernyataan dari Kemlu kemarin. Dalam rilis yang dikeluarkan kemarin,Indonesia berharap kedua belah pihak untuk memulai kembali Perundingan Enam Pihak (Six Party Talk) guna membahas seluruh aspek yang terkait dengan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.

Perundingan enam pihak adalah perundingan yang melibatkan enam negara, yaitu Korea Utara,Korea Selatan, China,Amerika Serikat,Rusia,dan Jepang. Perundingan yang sudah dimulai pada 2003 ini bertujuan untuk menghentikan program nuklir Korut serta mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea. Perundingan-perundingan itu, terakhir diselenggarakan Desember 2008. Pihak Korea Utara meninggalkan forum itu April 2009. Lima bulan kemudian negara itu mengumumkan mereka telah mencapai tahap akhir pengayaan uranium–satu cara penting untuk membuat sebuah bom nuklir. Faizasyah membenarkan Indonesia mendukung agar Korut dan Korsel bisa kembali ke meja perundingan melalui formula dialog enam negara.

“Kita tidak menjadi bagian tapi selalu memberi dukungan dan sebesar kemampuan yang dimiliki untuk dialog bisa dilakukan.Terus mendorong adanya kontak dari pihak berseteru,” tandasnya. Soal gagasan pengaktifan kembali Six Party Talk juga disampaikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat menerima kunjungan Duta Besar Amerika Serikat Scot Alan Marciel. Purnomo berharap, AS mendukung pengaktifan kembali forum tersebut. Menurutnya, Indonesia meyakini perang Korea Selatan dan Korea Utara bisa diselesaikan dengan cara damai. “Six Party Talk ini pada awalnya memang untuk membicarakan kawasan bebas nuklir di Semenanjung Korea, tapi ini bisa dipakai untuk masalah perdamaian di Semenanjung Korea.


Saya katakan, seharusnya itu diaktifkan kalau memang ingin Semenanjung Korea damai,”katanya. Komisi I DPR menilai Indonesia sudah seharusnya mengambil peran lebih besar untuk meredakan ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea menyusul terjadinya serangan militer Korea Utara pada Korea Selatan di Pulau Yeonpyeong. Menurut dia, Indonesia berpeluang mengambil peran ini karena memiliki sejarah yang cukup panjang dengan Korut dan memiliki hubungan cukup baik dengan Korea Selatan. “Dengan posisi Indonesia yang strategis dan netral ini, memberi kesempatan bagi Indonesia dapat berperan untuk menciptakan perdamaian bagi kedua Korea tersebut,” ujar Mahfudz Siddiq di Gedung DPR,Jakarta,kemarin.

Jika Indonesia tidak berperan aktif, lanjut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, dipastikan stabilitas politik dan ekonomi dunia, khususnya di Asia akan terganggu.Apalagi, kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang paling dekat dengan wilayah konflik Korea. “Jika perang Korea ini berlangsung lama,maka jelas yang paling kena imbasnya adalah kawasan Asia Tenggara. Terutama dampak dari segi ekonomi dan politik,” ungkapnya.

Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pertahanan Keamanan dan Hubungan Internasional Andreas H Pareira juga menilai, Indonesia sebagai negara sahabat kedua Korea perlu mengambil peran sebagai mediator. ”Yakni antara lain dengan mengajak kedua negara untuk duduk di meja perundingan dan menghindari penggunaan kekerasan senjata sebagai alat penyelesaian konflik,”katanya.

Mantan anggota Komisi I DPR ini menunjuk inisiatif yang pernah dilakukan oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendekati Korea Utara dan mengajak dua Korea ke meja perundingan pada waktu krisis sebelumnya. Menurut dia, langkah tersebut harus dilanjutkan Presiden SBY, termasuk untuk melaksanakan politik luar negeri RI yang bebas aktif.“Ini penting, demi stabilitas, perdamaian, dan kerja sama pembangunan kawasan,”tandasnya. (maesaroh/pasti liberty/ rahmad sahid/ant)