gravatar

Hybrid Cloud Computing Mulai Menarik Perhatian

Perusahaan yang ingin memasang Awan publik dan privat (hybrid cloud computing) diwakili oleh 38 persen responden, sementara 37 persen menyatakan hanya menginginkan Awan privat (private cloud computing). Pilihan terhadap Awan privat lebih jelas di sektor perbankan dan pemerintahan, sedangkan Awan publik masih mendapat penolakan.

Bahkan, di Jepang, negara paling positif terhadap Awan dalam survei ini, ternyata hanya 15 persen dari responden yang mau menggunakan Awan publik. Organisasi di Asia Tenggara lebih memilih Awan hibrida, dengan empat poin persentase lebih tinggi dibandingkan rata-rata Asia Pasifik. Area storage (58 persen) menunjukkan beban kerja pertama bagi Awan privat. Jepang (62 persen) dan China (61 persen) menginginkan penerapan storage dalam Awan privat. Aplikasi enterprise berbasis Awan adalah kategori kedua di Asia Pasifik dengan 49 persen. Untuk rencana penerapan, sebanyak 93 persen responden menyatakan mereka akan menggunakan Awan untuk konferensi web, IM, kolaborasi dan e-mail.

"Industri memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap model Awan hibrida. Sangat penting bagi enterprise untuk mendapatkan platform infrastruktur, model manajemen bersama, dan layanan aplikasi yang menjembatani Awan privat dan publik sehingga mampu memberikan Awan yang saling beroperasi untuk portabilitas data dan aplikasi," kata SVP dan GM VMware Jepang dan Asia Pasifik, Andrew Dutton.

Mengenai hambatannya, dia mengatakan, integrasi dengan sistem yang sudah terpasang dan kekhawatiran keamanan menjadi ganjalan adopsi Awan. Ini dinyatakan oleh 46 persen responden. Di pasar berkembang, faktor kunci yang menghambat adopsi Awan adalah kurangnya pemahaman.

Hal ini ditegaskan 44 persen responden di China, 40 persen di Malaysia dan 40 persen di Thailand, dibandingkan dengan rata-rata regional 36 persen. Hasil-hasil ini mengindikasikan secara kuat bahwa solusi Awan berbasis standar dan edukasi tentang Awan sebagai faktor pendorong yang signifikan di Asia Pasifik. Hasil survei menyatakan, organisasi di Asia Pasifik (59 persen) secara konsisten menyatakan infrastruktur virtualisasi sebagai komponen pembangun utama dari komputasi Awan. Dutton pun menuturkan mengenai hubungan antara virtualisasi dan komputasi Awan.

"Virtualisasi memungkinkan organisasi memisahkan aplikasi bisnis dan informasi kritikal dengan peranti keras fisik. Hal ini menjadi cara yang efektif dan cepat menuju Awan," ucapnya.

Adopsi virtualisasi di Asia Pasifik tertinggi Australia (87 persen) dan Jepang (82 persen). Berdasarkan sektor, adopsi virtualisasi terbanyak di asuransi (82 persen) dan layanan perbankan keuangan (76 persen). Thailand (67 persen) dan Singapura (65 persen) menyusul di belakang Australia dan Jepang. Penetrasi virtualisasi di Asia Tenggara mencapai 30 persen.
Dikatakan, sebagian besar perusahaan Asia Pasifik menggunakan virtualisasi untuk server dan data center. Banyak di antaranya fokus memberdayakan virtualisasi untuk meningkatkan kemampuan pemulihan bencana dan kesinambungan bisnis.Peluang pertumbuhan terbesar bagi virtualisasi di Asia Pasifik adalah di area komputasi personal, walaupun banyak organisasi memasukkan virtualisasi desktopsebagai prioritas rendah.

Kendati begitu,banyak manfaat yang bisa diperoleh dari virtualisasi desktop. Contohnya, fleksibilitas dalam penghantaran aplikasi dan data kepada pengguna akhir, tanpa bergantung pada jenis peranti akses.

"Dengan menyediakan kemampuan swalayan berskala besar bagi para pengguna akhir, virtualisasi desktop adalah bagian terakhir untuk membuat perusahaan yang fleksibel, berskalabilitas tinggi dan tanggap terhadap kebutuhan bisnis," tutur Dutton.